
17 April 2020
Lima minggu lalu, kita mulai membiasakan diri untuk #stayathome. Tiga minggu lalu, terdengar jeritan dan kepusingan orangtua yang masih gagap menerapkan Home Based Learning (HBL). Dua minggu lalu, denger curhatan dan complain terkait HBL yang dirasa membebani orangtua. Baik dari segi peran, waktu, dan biaya.
Diskon SPP Cukup atau Kurang?
Sekitar minggu lalu, terima e-mail terkait kebijakan keringanan SPP (alias biaya bulanan sekolah). Melalui survey IG yang saya lakukan, 78% responden berharap masih bisa mendapatkan tambahan diskon lebih. Oia, tidak semua sekolah swasta memberikan kebijakan diskon ini.
Beberapa pihak memang banyak yang fokus ke biaya sekolah. Di himpitan kondisi Corona, ya wajar saja. Apalagi yang terkena krisis finansial. Ada juga yang menggaris bawahi, hak dan kewajiban. Hak anak untuk mendapatkan pendidikan sekian jam. Namun dengan kegiatan Home Based Learning ini hanya menjadi sepersekian jam interaksi belajarnya. Ditambah dengan hak untuk menggunakan fasilitas yang notabene sekarang sedang tidak bisa digunakan.
Kewajiban akan monitoring dari pihak sekolah juga dipertanyakan. Sejauh mana sekolah bisa memberikan kewajiban dalam hal ini tingkat keberhasilan pendidikan di situasi seperti ini. Di satu sisi, guru memiliki kewajiban tersendiri. Memberikan dedikasi sebagai pengajar. Juga kewajiban sebagai orangtua, pekerja ataupun sebagai pasangan.
Interactions Via Monitor
Tidak kebayang sebelumnya kalau di zaman anak saya, dia merasakan sekolah online. Bertemu guru dan temannya hanya melalui monitor. Cukup membingungkan dan bikin saya terkadang frustasi, bagaimana memaksimalkan kegiatan belajar dan memberikan konsep pemahaman akan suatu tema belajar kepada anak 5 tahun. Bagaimana dia bisa mengerti, menerima konsep, menjadi tahu dan bisa dengan materi pengetahuan yang saya ajarkan. I have low confident on this matter.
Home Based Learning Challenge
Setiap keluarga memiliki situasi dan kondisi yang berbeda. Tidak semua mampu memfasilitasi kegiatan Home Based Learning. Sudah banyak program online yang bisa diakses secara gratis. Baik dari lokal dan internasional. Kendala terbesarnya adalah tidak semua keluarga bisa mengakses #sekolahonline. Keterbatasan akan kuota data, wifi, jumlah gadget yang dimiliki dan harus diakses bersamaan jika memiliki kakak ataupun adik.
Terlebih menghadapi anak-anak yang membutuhkan bimbingan ekstra, seperti toddler yang masih belum bisa membaca dan menulis. Bagaimana mengajari konsep dan bisa memiliki pemahaman agar kita sebagai orangtua, bisa satu frekuensi dengan anak-anak. Challenge terbesarnya adalah bagaimana kita mencukupi waktu dan energi agar semua tugas kita sebagai orangtua, kaum pekerja dan guru bisa merealisasikan semua ini.
Face it and Try to Adapt
Belum ada yang tahu kapan keadaan bisa back to normal dan anak-anak bisa kembali bersekolah. Bisa sebulan, dua bulan ataupun sekian purnama pun belum ada yang pasti.
We need to control, what we can control.
Sekolah ada harapan, tumpuan, dan tempat untuk mencerdaskan anak. Namun sekarang, harapan itu ada di tangan kita dan di rumah kita sendiri. Bagaimana kita memberikan effort, energi dan waktu untuk memaksimalkan proses pembelajaran ini. Fokus untuk mencari solusi bagaimana kita bisa menciptakan sistem belajar yang sustain dan kondusif.
Fokus untuk mencari solusi bagaimana kita bisa menciptakan sistem belajar yang sustain dan kondusif. Saya percaya bahwa guru dan sekolah juga sudah berusaha memberikan yang terbaik. Tapi kita tetap harus berusaha untuk improve. Ini momen pertama dimana kita semua mengalami HBL ini. Semua keputusan bukan atas kemauan kita. It is not easy to deal with it but we just have to do it.
Work on Process and See Better Progress
We can work as a team. Ayah, Ibu, anak, kakak, adik, saudara, si Mbak, teman-teman juga guru untuk tetap saling mendukung dan menyemangati kondisi ini.